Monday, October 26, 2009

Artikel Bahan Kajian tentang Poligami dalam Islam

Di bawah ini adalah artikel-artikel sebagai bahan halaqoh kajian yang diadakan oleh IKPM cabang Kairo. Bernama Kajian Obral, diadakan di sekretariat IKPM cab. Kairo setiap hari jumat malam habis maghrib. Dalam kajian ini sendiri, lebih fokus membahas isu-isu Fiqih Aktual, bukan saja kontemporer atau lama, akan tetapi isu fiqih yang saat ini sedang hangat dibicarakan.

Tema Kajian Obral Jum'at 30 Oktober 2009: Poligami
pembicara: Mukhlis
moderator: Muttaqin

Bahan artikel kajian yang dipostingkan di sini hanya stimulus: ^^
sisanya bisa didonlot di link yang sudah disediakan.

Link Donlot:


silahkan pilih jenis artikel yang ingin didonlot. (bagi peserta tetap kajian, wajib mendonlot dan membaca artikel utama)

  1. Artikel utama

  2. Artikel pendukung

  3. Artikel arabic

  4. FULL Artikel



Poligami, Monogami, dan Kontradiksi Modernitas


Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. Saya tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi saya, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri.
Apa yang saya tulis ini sebetulnya sudah menjadi diksusi secara pribadi dengan sejumlah teman waktu saya masih di Jakarta dulu.

Agar tak menimbulkan salah paham, saya akan mengemukakan posisi moral saya sejak awal. Saya tidak setuju terhadap praktek poligami. Dalam pandangan saya, perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. Saya tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi saya, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri.

Yang menarik adalah bahwa monogami ternyata bukan saja merupakan “keadaan ideal” yang dikehendaki oleh agama. Monogami, lebih penting lagi, adalah juga menjadi norma yang sangat penting dalam kehidupan modern. Sensibilitas masyarakat modern terbentuk dalam norma semacam ini, sehingga mereka melihat praktek poligami sebagai semacam “warisan” dari masa lampau yang “jahiliyah”. Poligami adalah bagian dari feodalisme pra-modern.

Mungkin perlu semacam riset yang lebih mendalam mengenai asal-usul sosial dan historis yang bisa menjelaskan kenapa monogami menjadi norma utama dalam masyarakat modern. Saya percaya bahwa norma ini tidak datang “ujug-ujug” dari langit. Ia terbentuk melalui proses historis tertentu.

Dengan kata lain, kaum pejuang keadilan jender perlu melakukan “analisa historis” atas munculnya norma keluarga dengan satu isteri itu. Historisitas tidak saja berlaku pada perkembangan ajaran dan doktrin agama, tetapi juga berlaku pada norma-norma yang kita kenal dalam masyarakat modern saat ini.

Ada satu paradoks dalam modernitas yang jarang kita sadari. Paradoks ini layak kita pikirkan dengan baik-baik, sebab entah pengutuk atau pemuja modernitas sama-sama tidak bisa menghindarkan diri dari gejala modernitas itu sendiri.

Di satu pihak, modernitas mengandung suatu impuls atau dorongan ke arah asketisisme, yakni hidup dengan etos kerja keras, tepat waktu, kalkulasi, efektivitas, dsb. Saya memandang, norma monogami mungkin berasal dari impuls ini. Saya tak tahu bagaimana menjelaskan hubungan antara monogami dengan etos asketisme dalam modernitas.

Saya hanya menduga saja, bahwa bentuk keluarga kecil dengan isteri satu lebih sesuai dengan etos masyarakat modern yang menghendaki segala bentuk kepraktisan, efisiensi, kerja keras, dsb. Selain itu, keluarga kecil juga lebih memenuhi kebutuhan masyakarat modern untuk melindungi hak-hak milik pribadi. Konsep “hak milik” sangat penting kedudukannya dalam kesadaran masyarakat modern, sekurang-kurangnya jika dibandingkan dengan masyarakat pra-modern.

Tetapi ada impuls lain dalam modernitas yang jarang sekali kita sadari, padahal kita lihat gejalanya dalam kehidupan sehari-hari. Yakni dorongan untuk selalu mencobai hal-hal baru. Saya ingin menyebutnya sebagai impuls advonturisme. Penjelajahan Columbus untuk mencari “dunia baru” ternyata bukan saja melambangkan suatu kegiatan ekonomi dalam masyarakat modern untuk mencari tanah baru untuk dieksploitasi. Lebih dari itu, penjelajahan itu juga berlangsung pada kehidupan pribadi, termasuk dalam kehidupan seksual.

Dua kecenderungan ini jelas tidak “klop” satu dengan yang lain. Kecenderungan asketik medorong ke arah etos kehidupan yang menekankan semangat “menahan diri”, sementara kecenderungan yang kedua mendorong ke arah “pelampiasan nafsu”. Yang satu bersifat “frugal” atau “ugahari”, yang lain bersifat boros.

Paradoks ini paling kelihatan dalam konteks kehidupan keluarga. Di satu pihak, modernitas menekankan norma monogami: keluarga dengan satu isteri dan sedikit anak. Di pihak lain, kita menyaksikan bagaimana eksperimentasi dengan pengalaman seks meledak dalam masyarakat modern. Kita semua tahu bagaimana modernitas mengekspose segala kemungkinan yang ada pada tubuh, baik laki-laki atau, terutama, perempuan. Dengan berkembangnya teknologi audio-visual seperti televisi dan film, kecenderungan itu sekarang mengalami radikalisasi yang sangat ekstrem.

Paradoks ini selalu saya rasakan saat saya menonton televisi di Amerika (juga di Jakarta, sebetulnya). Saya menonton peragaan tubuh yang erotis di TV, begitu rupa sehingga saya berpikir dalam hati, “Kenapa saya tak bisa menikmati pengalaman erotisme seperti diperagakan dalam televisi itu? Bukankah kesempatan untuk itu terbuka lebar?” Tetapi di pihak lain, bagaimana saya mendamaikan antara “keinginan” mencobai erotisme itu dengan norma lain yang juga dijunjung tinggi dalam masyarakat modern, yakni norma hidup dengan satu isteri?

Dengan kata lain, di satu pihak saya dituntut, entah oleh modernitas atau juga oleh agama sebagaimana saya pahami, untuk hidup asketis dengan satu isteri, begitu pula isteri saya harus hidup dengan satu suami. Tetapi di pihak lain, saya (dan juga isteri saya) berada dalam suatu habitus sosial di mana erotisme hampir meresap ke segala pori-pori.

Tentu ada banyak solusi untuk paradoks seperti ini. Pertama, solusi yang “legal”, yakni saya akan gonta-ganti pasangan. Kalau saya bosan dengan isteri saya, atau isteri saya bosan dengan saya, kita sepakat untuk cerai, untuk mencobai pasangan baru yang lebih menggairahkan. Solusi ini sangat sulit berlaku dalam konteks masyarakat Kristen di mana perceraian ditabukan.

Bukan hanya itu, solusi ini, secara praktis, juga sangat tak menguntungkan, dan dilihat dari sudut kepentingan melindungi hak milik yang sangat penting dalam masyarakat modern, sangat tidak menarik. Yang lebih masuk akal dalam konteks masyarakat modern adalah hidup dengan satu pasangan, terutama karena hal itu lebih menjamin keamanan dan perlindungan hak milik.

Kedua, solusi yang “tak legal”. Solusi ini memiliki banyak bentuk, misalnya “selingkuh”, dengan akibat yang juga pada akhirnya tak menguntungkan dari segi kebutuhan menjaga hak milik, selain merugikan hak-hak perempuan. Bentuk yang lain adalah “membeli” kebutuhan seksual di “pasar bebas”. Solusi ini jelas tak bisa diterima, sekurang-kurangnya dari sudut agama. Juga tak bisa diterima dari sudut norma monogami.

Ketiga, solusi keagamaan. Inilah solusi yang ditawarkan oleh kalangan konservatif. Solusi ini sama sekali tertutup dalam masyarakat Barat, tetapi masih terbuka dalam masyarakat di luar Barat, seperti masyarakat Islam. Tetapi, solusi ini juga bukan tanpa cacat. Kalau poligami dibolehkan dengan alasan untuk “menampung” gairah seksual laki-laki, kenapa hanya dibatasi empat. Kalau gairah dibiarkan, sudah tentu empat tidak cukup. Dalam habitus sosial di mana erotisme meresap begitu dalam, seseorang akan terdorong untuk mencobai kegiatan seksual tanpa batas.

Solusi terakhir yang juga diam-diam mulai banyak menarik masyarakat modern adalah hidup lajang, seraya membuka diri untuk mencobai segala bentuk kemungkinan seks. Solusi ini hanya menarik buat kelas menengah yang memiliki surplus penghasilan yang memadai untuk mendukung segala kemungkinan ke arah “advonturisme”. Alternatif melajang tentu bukan semata-mata didorong oleh adventorisme seksual, tetapi juga oleh keinginan untuk memburu karir dan pekerjaan yang lebih baik. Tampaknya yang terakhir ini lebih banyak terjadi dalam praktek sehari-hari.

Saya mengetengahkan paradoks ini bukan untuk “diselesaikan” dengan cara sim-salabim dan sekali pukul dengan tongkat Musa. Saya tak percaya paradoks ini bisa diselesaikan dengan mudah. Bahkan agama pun tak bisa menyelesaikan paradoks ini dengan mudah. Saya mengetengahkan paradoks ini hanya untuk membuka mata kita pada aspek-aspek kehidupan modern yang tak mudah untuk diringkus dalam satu-dua jenis solusi, dengan satu bentuk justifikasi.

http://islamlib.com/id/artikel/poligami-monogami-dan-kontradiksi-modernitas/

komentar:


oleh bov di perspektif.net

hehehe...kayaknya banyak yg ngga setuju yah dengan poligami. sebenarnya soal setuju, atau tidak setuju. itu semua bukan HAM kita dalam menentukan mana yang benar dan mana yg salah. mau ngomong ampe berbusa pun, polygami akan tetap boleh dan legal.

saya tidak dukung polygami, saya cuma menekankan bahwa polygamy itu BOLEH. itu 2 hal yang berbeda. hampir sama dengan jika agama islam indonesia memperbolehkan merokok, padahal jelas2 tidak ada gunanya dan merusak kesehatan diri dan orang sekitarnya.

harap dicamkan, kita dilarang meralat, merivisi atau lebih parah lagi memodifikasi ajaran agama islam. jika polygami itu salah, seolah2 apa yg dilakukan Nabi Muhammad dan mayoritas umat islam di belahan dunia lain itu salah. emang kita ini siapa?

jika tidak setuju, tolong tunjukan bukti2 secara ilmiah. jika alasannya hanya sekedar "perasaan"...itu alasan yang lemah sekali. bukankah semua masalah di dunia ini juga berawal dari yang namanya perasaan? dengan demikian, apakah perasaan itu sendiri layak dijadikan indikator sesuatu yg benar dan salah? orang berbohong, membunuh bahkan memfitnah juga dilatar belakangi oleh yg namanya perasaan kok. nampaknya lebih banyak orang yg peduli pada perasaan, ketimbang harus berpikir lebih dalam lagi dalam memecahkan suatu masalah.

tolong, jangan seret2 istilah "CINTA" ke topik ini. perlu saya ingatkan, bahwa cinta itu dalam islam TIDAK HIGHLY RECOMMENDED untuk menjalin suatu pernikahan. orang2 yang PAHAM benar soal CINTA harusnya tau, kalo cinta yang sesungguhknya itu hanya kepada Allah swt, sisanya itu bersifat sementara, karena semua yang ada dimuka bumi ini tidak kekal.

perlu saya ingatkan lagi, dalam ajaran islam, Polygami itu dapat TOLERANSI, perceraian itu DIBENCI. sedangkan yang terjadi di indonesia, Polygami itu DIBENCI dan perceraian di TOLERANSI. ini menunjukan, sudah jelas sekali ada yang salah dalam pola berpikir rakyat kita.

komentar ada di sini:
http://perspektif.net/article/article.php?article_id=510

0 comments:

Post a Comment